Tukang ojek jadi jenderal bintang tiga itu bukan dongeng atau kisah fiksi, namun benar-benar nyata adanya. Sang
jenderal kini mengomandani sebuah lembaga besar yang membidangi masalah
penanggulangan narkotika atau yang dikenal Badan Narkotika Nasional. Dialah
Budi Waseso, salah seorang putra terbaik bangsa yang terbiasa ditempa dengan
kerja keras dan nilai kejujuran.
Perjalanan Hidup memang
selalu menyuguhkan drama dan juga misteri, dan ini pasti dialami oleh semua
insan di bumi. Seorang Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Budi Waseso, juga
mengalami drama-drama hidup yang dulu mungkin bisa menguras peluh dan air mata,
namun sekarang jadi kenangan indah yang bisa mengundang derai tawa bahagia.
Pejuang
Tangguh Tak Kenal Gengsi
Inilah fakta, Budi Waseso,
seorang jenderal bintang tiga yang pernah menjadikan vespa sebagai salah satu
sumber pendapatan. Saat dirinya sudah menjadi perwira polisi, Budi Waseso
pernah menjadi pilot motor alias ojek tanpa kenal gengsi. Semua dijalani karena
terdorong untuk menopang berbagai kebutuhan.
Bagi Budi, Vespa tahun tujuh
puluhan ini menjadi salah satu saksi bisu betapa ia harus berjuang menguras
peluh agar kebutuhan hidup dapat diatasi tanpa banyak keluh. Ia mengojek
selepas tugas yang mana pada waktu itu ia berdinas di Direktorat Pendidikan
Polri.
Tak banyak pundi-pundi yang
diraih tapi cukup membantu menopang biaya hidupnya. Menurut ingatannya, pada
saat itu dirinya bisa mendapatkan uang Rp 2 ribu dalam satu hari. Uang tersebut
ia gunakan untuk kebutuhan makan siang dan bahan bakar untuk kebutuhan dinas.
Saat itu, ia harus mengajar dari satu tempat ke tempat lainnya dan lumayan
menguras tenaga dan biaya bahan bakar, karena itulah ia mencari penghasilan
tambahan.
Rupanya bukan hanya jadi
pilot motor yang ia lakukan. Dirinya juga sempat menjadi pengemudi taksi. Pada
saat itu, taksi hanya beroperasi hingga jam delapan malam. Ia melihat ruang
kesempatan untuk mencari pendapatan tambahan.
Tanamkan
Kejujuran dan Tanggung Jawab
Bicara soal kejujuran, Buwas
selalu menanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab pada seluruh jajarannya di
manapun ia mengemban tugas. Ia mencontohkan dirinya yang tak malu untuk menjadi
ojek dan juga menjadi sopir taksi tembak.
Karena itulah, ketika
disinggung mengenai adanya oknum aparat yang melindungi bisnis narkoba, ia
dengan tegas mengatakan siapapun oknum yang berada di balik kejahatan narkoba
harus ditindak dengan tegas. Jika dibiarkan maka peredaran narkoba bisa leluasa
dijalankan.
Bertindak
Tanpa Pesanan dan Tekanan
Dalam setiap tugas yang
diemban, Buwas juga dikenal tak pernah melakukan tindakan yang didasari pesanan
atau tekanan. Semua yang dilakukan murni karena komitmen untuk menegakkan
hukum. Perlu digarisbawahi, penegakkan hukum itu tak boleh tebang pilih alias
pilih-pilih.
Efektifkan
Aturan
Terkait implementasi Undang-Undang
Narkotika, ia memiliki tekad untuk melakukan evaluasi untuk menghitung
kebijakan mana yang efektif mana yang tidak. Ia selalu mempertimbangkan, bahwa
penegakkan hukum itu bisa membuat efek jera dan bisa merubah perilaku menjadi
lebih baik.
“Semua hal harus dievaluasi
agar langkah-langkah ke depan itu tepat. Jangan sampai ada aturan yang
disalahgunakan. Jangan sampai ada bandar yang merangkap pengguna, nantinya
berlindung seolah-olah di itu korban sehingga dapat rehabilitasi”, begitulah
pernyataan Buwas di salah satu acara televisi baru-baru ini.
Menghargai
Perjuangan Sang Ibunda
Di balik kegarangan seorang
Budi Waseso, terdapat sosok penyayang terutama pada sang ibunda tercinta. Ia
mengingat betul, bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh seorang ibu untuk
membesarkan ketujuh buah hatinya.
Saat kecil, ia bersama
dengan enam saudara kandung lainnya sering ditinggal sang ayah karena tugas di
militer. Saat itulah ibu berperan besar dalam membina dan mendidik anak. Tugas
ibu untuk mendidik anak memang termasuk tugas yang tidak mudah. Enam
diantaranya adalah anak laki-laki dan semuanya nakal.
Kisah
Tiga Tusuk Sate
Satu kenangan yang tak
pernah terlupakan, ketika Buwas dan saudara kandungnya menyampaikan keinginan
pada sang ibu untuk mencicipi sate. Karena saat itu tidak ada uang, sang ibu
terpaksa menjual baju seragam cadangan tentara milik sang ayah untuk dibelikan
tiga tusuk sate. Sang ibu berusaha untuk membaginya dengan adil. Dari tiga
tusuk sate yang hanya terdiri dari beberapa butir daging harus dibagi untuk
ketujuh anaknya. Sungguh pengorbanan di tengah keprihatinan tetapi sang ibu
selalu berusaha sebisa mungkin memenuhi kebutuhan putera puterinya. Maka tak
heran Budi meneteskan air mata, ketika ia mengenang masa kecilnya bersama orang
tua dan saudara.
Comments
Post a Comment