Hampir setiap hari, narkoba
tak pernah absen dalam daftar berita yang disajikan media. Dari pejabat, oknum
aparat hingga rakyat biasa
semua lengkap pernah terjerat.
Narkoba begitu menggurita, tak kenal siapa targetnya. Tersiar kabar duka,
setiap hari diperkirakan tiga puluhan anak bangsa menghembuskan nyawa gara-gara
narkoba. Genderang perang terus ditabuh, tapi korban satu persatu jatuh.
Melihat kondisi ini, semua
pihak buka suara, silang pendapat, adu debat, tapi di lain sisi, para sindikat justru terus melesat menebar pil pil
dan bubuk madat. Negara berada dalam kondisi darurat, karena narkoba terus
beredar bukan hanya di tempat hiburan, tapi sudah masuk hingga ke perumahan.
Dari data yang ada, 4 juta
jiwa anak bangsa sudah diracuni narkoba. Presiden RI, dalam sambutannya 26 Juni 2015 lalu di
Istana dalam peringatan Hari Anti Narkotika Internasional dengan tegas
mengatakan, persoalan narkoba harus dituntaskan.
Setidaknya ada tiga pesan
utama Bapak Jokowi yang patut dicermati kepada seluruh perangkat negeri untuk melawan narkoba, pertama pencegahan yang
partisipasif, pemberantasan sindikat yang agresif, dan rehabilitasi yang masif.
Jokowi ingin ketiganya dilakukan simultan, serentak dan menyentak agar para
penjahat narkoba tersedak.
Cara
Galak Hancurkan Bisnis Sindikat
Berbicara perang melawan
narkoba, tentu ada dua pendekatan penting yang perlu dipahami oleh masyarakat.
Pertama, menuntaskan masalah narkoba dengan pendekatan supply reduction, atau dikenal dengan mengurangi pasokan.
Pengurangan pasokan tentu masuk kepada ranah penegakkan hukum, karena akan
terkait dengan tugas Badan Narkotika Nasional dan juga Polri serta penegak
hukum narkotika lainnya. Jika boleh dikatakan, pendekatan ini adalah cara galak
untuk menghancurkan sindikat.
Dalam ranah ini, penegak
hukum yang membidangi narkoba diharapkan dapat menjadi ujung tombak yang mantap
untuk mencabik-cabik mata rantai
sindikat. Tantangan kini begitu nyata, karena sindikat narkoba seperti tak
kehilangan amunisinya untuk memasok narkoba dalam jumlah yang fantastis ke
negeri ini.
Tak usah berbicara
tahun-tahun ke belakang, dalam tahun 2015 saja, penulis mencatat betapa para
penjahat narkoba ini makin nekat memasok barang laknat. Di awal Januari 2015,
BNN membekuk sindikat narkotika yang membawa sabu seberat 860 kg dari luar
negeri (diduga kuat dibawa dari Tiongkok). Tak berselang lama, periode Juni
hingga Agustus tahun ini,
sindikat Afrika menggelontorkan sabu seberat satu kuintal lebih dari Tiongkok
ke Indonesia dengan beragam modus dan cara.
Berperang melawan narkoba harus dibuktikan dengan
keseriusan para penyidik untuk memutus jaringan, menangkap penjahat. Lalu di level selanjutnya,
sang jaksa konsisten menuntut
hukuman berat. Hingga
endingnya di pengadilan para hakim gagah berani jatuhkan
vonis yang superberat pada para (hukuman mati maksimal).
Bukan hanya itu saja, penegak hukum juga
ditantang untuk bisa merampas aset para bandar hingga di balik jeruji sekalipun
mereka tidak bisa mengembangkan bisnisnya. Fakta yang hingga saat ini terjadi
adalah, bandar masih punya aset yang mentereng di luar penjara, sehingga bisnis
mereka tetap
kenceng dan langgeng. Tak ada pilihan lain, penegak hukum harus gahar dan
sangar untuk membuat para bandar gulung tikar.
Jika melihat data dan fakta
yang ada, tentu rakyat bertanya, mengapa narkoba selalu ada, mengapa narkoba
selalu mengintai generasi kita? Banyak
pendapat mengemuka. Ada yang mengatakan bahwa penegakkan hukum di negara ini
begitu kerdil, ada juga menyebut, pangsa pasar narkoba di negeri ini begitu besar,
ada pula yang beropini bahwa serangan narkoba ini bentuk dari penjajahan jenis
baru atau penjajahan non senjata.
Cara
Lunak Dengan Mencegah dan Merehabilitasi
Memerangi narkoba dengan satu
pendekatan semata yaitu cara memberantas jaringan sindikat narkoba tidak akan
berhasil jika upaya Demand Reduction
atau pengurangan permintaan tidak diupayakan.
Seperti apakah demand
reduction yang ideal? Di sinilah rakyat dan pejabat bisa bersama-sama bekerja
sama dengan erat untuk menggerus para sindikat.
Keseimbangan itu perlu dalam
menempuh perang pada narkoba. Di satu sisi, pihak penegak hukum terus
menghentikan laju peredaran dengan cara memenjarakan bahkan menghukum mati, dan
di sisi yang berbeda, semua unsur bersatu padu menguatkan diri untuk kebal dari
rayuan narkoba. Inilah keseimbangan.
Dalam kerangka demand
reduction, maka langkah penting yang harus dilakukan adalah; menanamkan konsep
bahwa mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Konsep lebih baik mencegah dari
pada mengobati memang benar adanya. Sebagai langkah preventif, pengembangan
partisipasi masyarakat perlu dikembangkan dengan cara mencetak para
relawan-relawan anti narkoba agar mereka bisa berperan dalam penanggulangan
narkoba sesuai dengan potensinya masing-masing.
Jika ingin melihat role
model nyata yang dilakukan relawan anti narkoba, maka kita bisa melihat seorang
pejuang di Sukoharjo sana, yang bernama Agus Widanarko atau Danar.
Dia memberikan pemahaman
tentang bahaya narkoba dari rumah ke rumah hingga mencapai 1000 desa di Jawa
Tengah. Ia sebarkan virus waspada agar orang desa juga melek bahaya narkoba.
Bukan hanya itu, Danar dan rekan-rekannya juga mengantarkan pengguna yang butuh
dirawat atau direhabilitasi. Dengan kegigihannnya inilah, ia di satu sisi
mendapatkan pengakuan dari negara atas sumbangsihnya berupa penghargaan dari
Wakil Presiden (waktu itu tahun 2014 ketika masih dijabat Pak Budiono). Inilah
bentuk pencegahan yang simultan. Bukan hanya koar-koar mengatakan tidak pada
narkoba, akan tetap juga siap mengantar pengguna yang sangat membutuhkan
pertolongan.
Bentuk pencegahan yang kedua
yang tak boleh dilupakan adalah dengan mengubah daerah rawan narkoba menjadi
daerah yang kondusif. Bisa dilihat model ini di Jakarta. Ada belasan kampung
rawan narkoba yang kini mulai beralih makin baik citranya. Sejumlah kampung,
seperti Kampung Permata (dulu disebut Kampung Ambon), Kampung Bali, Kampung
Bonang, dan sejumlah kampung-kampung lainnya kini mulai memperlihatkan wajah
yang positif karena anak mudanya makin banyak yang kreatif dan banyak di antara
mereka yang sudah meninggalkan bisnis narkoba yang sangat negatif.
Nah yang penting dan tak
boleh dilupakan tentu saja pengobatan atau yang dikenal rehabilitasi. Dalam
politik hukum negara ini, rehabilitasi menjadi salah satu roh Undang-Undang
No.35 Tahun 2009 tentang narkotika.
Dalam pasal 4 jelas
disebutkan adanya jaminan tentang pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.
Nah pengaturan rehabilitasi
ini menjadi salah satu langkah pencegahan juga yang harus mendapatkan porsi
yang ideal. Mengapa disebut langkah pencegahan, karena dengan merehabilitasi
seseorang, maka proses yang dijalani oleh pengguna tak lain agar mencegah si
pengguna ini terperosok lebih dalam di jurang kecanduan.
Rehabilitasi,
Cara Seksi Buat Bandar Gulung Tikar
Genderang perang yang
dipelopori Presiden Nixon tahun 1971 secara sporadis diikuti oleh negara-negara
lain, belum bisa membuat bandar habis. Karena itulah, pada awal tahun 2014, muncul
paradigma baru dengan fokus penanganan
penyalah guna narkoba melalui rehabilitasi.
Meski belum dianggap langkah seksi, namun jika rehabilitasi berjalan
sukses maka tak ada lagi penyalah guna yang merogoh koceknya untuk narkoba,
sehingga otomatis membuat bandar perlahan gulung tikar. Ketika bisnis narkoba
tidak lagi menguntungkan, tentunya Bandar narkoba segera angkat kaki dari
negeri tercinta ini.
Sebagai babak pembuka
paradigma baru penanganan masalah Narkoba, pada tanggal 26 Januari 2014, bertempat di lapangan Mabes
Polri, Kepala BNN bersama Kapolri, Ketua DPR-RI, Ketua DPD-RI, dan Wakil Ketua
MPR-RI mengukuhkan pencanangan tahun 2014 sebagai Tahun Penyelamatan Pengguna
Narkoba dengan tema “Pengguna Narkoba
Lebih Baik Direhabilitasi Daripada Dipenjara”. Tema ini mengandung pesan
bahwa pengguna narkoba adalah orang sakit yang harus dipulihkan dengan cara
rehabilitasi. Sementara itu pesan untuk para penegak hukum narkotika agar
memiliki orientasi untuk merehabilitasi para penyalah guna narkoba daripada
menjebloskannya ke dalam jeruji besi. Pesan ini merupakan pilihan humanis dan
terbaik menurut undang – undang bagi masa depan bangsa.
Paradigma baru
penanganan penyalah guna narkoba telah menguras kerja keras para stake holder
di level pemerintah. Atas nama semangat
penyelamatan generasi bangsa dari cengkeraman narkoba, tujuh institusi plat
merah yaitu Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri,
BNN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial mulai bersatu padu dalam
mengimplementasikan penanganan bagi penyalahguna narkoba dari hulu ke hilir
secara ideal. Tanggal 11 Maret 2014 menjadi tonggak sejarah karena ke-7
instansi di atas sepakat membubuhkan tanda tangannya di atas dokumen Peraturan
Bersama (Perber) yang mengatur tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.
Muncul
Konsep Asesmen Agar Dipastikan Mana Pecandu Mana
Pengedar
Perber mengatur
penanganan penyalah guna narkoba dengan cara yang ideal, yakni melalui asesmen
terpadu. Prosedurnya, ketika seseorang ditangkap, maka ia akan
menjalani asesmen terpadu yang dilakukan oleh tim
hukum dan tim kesehatan terhadap para penyalah guna narkotika. Fase ini akan menentukan apakah tersangka ini pengguna
murni dan ataukah merangkap sebagai pengedar.
Selain itu, tim
asesmen akan menilai sejauh mana tingkat ketergantungan penyalah guna narkoba.
Hal ini sangatlah penting guna memulihkan penyalah guna narkoba yang tertangkap
oleh penyidik, mereka akan menjalani rehabilitasi sejak proses penyidikan
hingga pemeriksaan di pengadilan, proses menjalani rehabilitasi ini sesuai
dengan UU, dihitung sebagai proses
menjalani hukuman.
Hal ini perlu
dilakukan karena politik hukum pemerintah sesuai dengan UU Narkotika yang
berlaku saat ini menganut double track
system pemidanaan, artinya penyalah guna murni wajib ditempatkan di lembaga
rehabilitasi karena mereka dalam keadaan ketergantungan narkoba, sedangkan
penyalah guna yang merangkap pengedar dipidanakan penjara namun tetap diberikan
akses rehabilitasi.
Sudah
Banyak Terobosan, Tinggal Implementasi Ditingkatkan
Dari perspektif hukum dan
terobosan aturan-aturan turunan, tentu banyak dinamika yang bisa dipertontonkan
pada masyarakat dalam konteks penanggulangan masalah narkoba. Memang, konsep
yang sudah dibuat belum seindah yang terjadi di lapangan. Kini, masyarakat
ingin melihat bagaimana pemerintah dapat melaksanakan semua sektor secara
berimbang, yaitu langkah pencegahan, pemberantasan dan rehabilitasi bisa
berjalan dalam satu irama. Tidak ada yang lebih depan, semuanya sama, harus
dikedepankan agar penyalahgunaan dan peredaran narkoba di negeri ini bisa
hilang, sirna.
Comments
Post a Comment