Pemberitaan
Raffi Ahmad yang tersangkut masalah narkoba terus meluas ke berbagai aspek.
Masalah yang diobok-obok tidak berkutat pada kasus hukum yang menjeratnya,
namun meluas hingga ke zat yang dikandung dalam tablet yang dimilikinya.
Pasca
penangkapannya, media seolah tak ingin kehilangan setiap momen yang ada. Hampir
setiap menit, jam, dan hari, awak media terus stand by, menunggu berita apa
lagi yang akan muncul. Bergulirnya kasus rafi mengundang banyak opini dari
berbagai sisi. Pada intinya, kasus ini disikapi oleh dua sisi berlawanan,
pertama yang menginginkan rafi ditahan dan dinyatakan bersalah, sementara pihak
lainnya adalah mendukung Rafi agar terbebas dari jeratan hukuman.
Sementara
itu, BNN sebagai penegak hukum yang menangani masalah ini harus memerankan
perannya seprofesional mungkin. Pihak BNN sendiri mendapat banyak cibiran dan
cemoohan, dengan anggapan BNN hanya cari popularitas, atau sensasi semata.
Kecaman itu datang baik dari berbagai kalangan, dari masyarakat umum hingga
para praktisi professional berbagai bidang. Tangkapan yang hanya dua linting
ganja, dan 14 butir kapsul yang ternyata mengandung narkotika jenis methylone,
menjadi salah satu aspek yang jadi sorotan dan cibiran. Pertanyaan yang muncul
ke permukaan adalah, apa gunanya BNN jika hanya dapat menangkap barang bukti
sekecil itu? Pertanyaan ini meluncur dan disikapi dengan berbagai opini, yang
tentu saja berimbas pada kredibilitas BNN ini sendiri.
Menghadapi
derasnya cemoohan, cibiran dan tuntutan, BNN terus melakukan fungsinya dan telah berada di jalur yang benar. Para pelaku
yang positif menggunakan narkoba dan tidak memiliki barang bukti dikirim ke panti
rehabilitasi di Lido dan tetap menjalani proses hukum. Sementara Rafi, diancam
dengan hukuman yang berlapis, karena disangka kuat memiliki barang bukti
narkotika.
Lepas
dari pro kontra kasus hukum yang terus berjalan, pelajaran penting yang diambil
dari peristiwa ini adalah, pertama, kesadaran public akan bahaya narkoba jauh
lebih tinggi. Sorotan pertama saya arahkan kepada dapur media.
Semenjak
kasus Rafi bergulir, pemberitaan narkoba tidak lagi mengambil angle kasus hukum
yang menjerat Rafi, akan tetapi menjadi meluas hingga masuk ke ranah
pencegahan, dan rehabilitasi. Dua isu ini harus diakui kurang popular jadi
konsumsi berita public, tapi sejak RA ditangkap, seiring dengan dinamika yang
ada, media pun tergerak untuk menggarap sisi lain yang kurang popular tadi, sehingga isu-isu seperti sosialisasi narkoba
hingga rehabilitasi tidak lepas dari bidikan kamera, dan goresan tinta.
Kesadaran
media untuk mengangkat sisi lain dari isu narkoba, yang selama ini didominasi
oleh pengungkapan kasus, memberikan warna baru bagi public. Publik secara umum
menjadi lebih paham bahwa di Indonesia ini banyak sekali pecandu narkoba yang
harus direhabilitasi. Selain itu, public juga menjadi tahu bahwa ada banyak
orang yang mendedikasikan hidupnya untuk memberikan penyuluhan atau sosialisasi
narkoba.
Hal-hal
seperti ini memang sebelumnya mendapat porsi yang sangat sedikit dari bidikan
awak media. Tapi dengan gerakan kesadaran media untuk menyajikan sisi lain dari
masalah narkoba, tentu saja menghadirkan angin segar di tengah pemirsa.
Di
suatu pagi, saya melihat ada pemberitaan dari RCTI tentang kegiatan positif
para mantan pecandu yang berusaha untuk pulih dari narkoba. Sementara itu di
suatu sore juga, saya melihat Metro TV menayangkan bagaimana upaya para pecandu
untuk pulih dari ketergantungan.
Di
media cetak, dan media online, berita tentang kegiatan pencegahan narkoba,
seperti sosialisasi, tes urine, hingga diskusi mengenai isu narkoba semakin
bermunculan. Ini dinamika yang positif, dan imbasnya adalah wawasan public
semakin luas, sehingga cakrawala adiksi semakin terbuka.
Sorotan
kedua yang ingin saya sampaikan adalah, melalui kasus rafi kita semua diberikan
wawasan baru, bahwa ada tanaman bernama chata edulis di berbagai daerah di
negeri ini yang ternyata mengandung katinon, yang notabene masuk dalam
narkotika golongan satu.
Masyarakat
yang sudah terlanjur menanam pun harus rela membungihanguskan tanamannya, meski
memberikan omzet yang menggiurkan. Akan tetapi apa boleh buat, narkotika
golongan satu harus dienyahkan. Tapi mereka berhak untuk mendapatkan kompensasi
yang imbang, karena mereka memang tidak tahu persis apa kandungan yang ada
dalam tanaman khat tersebut.
Isu
ini kemudian meluas, dan mendorong beberapa orang pakar untuk duduk bersama dan
membicarakan langkah penting apa yang musti diambil agar semua pihak dapat
mengantisipasi narkoba jenis baru.
Seperti
kata pepatah, di balik musibah memang selalu ada hikmah. Kita memang banyak
disodori fakta baru dari kasusnya rafi ini. Memang tidak bisa dipungkiri,
tiba-tiba muncul banyak orang aneh yang mencari panggung, tapi panggung yang
salah. Panggung yang ada saat ini, ibarat orkes pesakitan, yang tidak pantas
untuk ditunggangi untuk mencari sensasi baru dan ketenaran.
Kasus
narkoba dan artis sudah seperti siklus, dan cenderung selalu terjadi seiring
berpacunya waktu. Hal ini memang tidak perlu dibesar-besarkan, akan tetapi
jangan juga dinafikan. Yang terpenting itu adalah, bagaiamana memutus mata
rantai jaringan di balik ini, kemudian bagaimana memberikan imunitas pada
masyarakat untuk tolak narkoba, lalu obati orang yang sudah kecanduan,
selanjutnya berdayakan para mantan pecandu dengan ketersediaan pekerjaan.
Konsep
ini sudah terangkum jelas dalam Kebijakan dan Strategi Nasional P4GN 2010-2015.
Hal yang mestinya jadi perhatian bersama adalah, masyarakat harus lakukan
pengawasan pada aparat pemerintah baik itu BNN atau stake holder lainnya yang
mengurusi masalah narkoba.
Comments
Post a Comment