Seolah kedatangan tamu agung, justru pamor dan wibawa sang tuan rumah sepertinya sirna tak tersisa. Itulah deskripsi yang penulis tujukan kepada Tim Nasional Indonesia kala menjamu tim-tim besar, seperti Arsenal pada pekan lalu, dan Liverpool, pada hari ini (20/7).
Melihat realitas besarnya animo masyarakat pada tim-tim luar negeri, membuat saya mencoba melihat dari kacamata yang berbeda. Satu hal yang paling risih dan gundah pada diri saya adalah, lunturnya kecintaan terhadap bangsa sendiri, dan lebih mengagungkan produk luar negeri.
Mungkin akan ada banyak orang yang tidak suka dengan lontaran komentar saya, tapi pada faktanya, rasa kecintaan dan nasionalisme seharusnya mengalahkan fanatisme terhadap tim asing. Riuh stadion GBK yang megah, hanya merepresentasikan betapa orang-orang di negeri ini tak peduli dengan icon garuda yang menempel di setiap dada pemain timnas. Bahkan dalam sebuah wawancara seorang presenter dengan penonton (dua orang perempuan), dengan polosnya mereka (penonton) mengatakan tidak tahu satupun pemain tim nas kita, sementara dengan lancar menyebutkan pemain adalah Liverpool. Bagi saya itu adalah ironis yang menyedihkan.
Sekalipun timnas berada pada level yang berbeda atau lebih rendah dari kasta mereka (liverpool), tapi tim nas adalah kebanggaan kita. Menafikan dari segala problematika yang ada, tim nas telah banyak membuat banyak fenomena, hingga menciptakan atmesfer aneka warna hingga euforia yang sanggup mengobati luka-luka dan derita anak bangsa.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran timnas selalu dirindukan, meski pada akhirnya banyak cibiran yang dilontarkan. Tapi saya, tidak peduli itu, saya cinta timnas, saya selalu mendukung timnas. kebesaran tim Arsenal, Liverpool, dan Chelsea tidak akan pernah menggoyahkan saya untuk mencintai timnas.
Ketika gawang Kurnia Meiga dijebol dan penonton bersorak sorai....saya sedih..Bagaimanapun, timnas ini sudah bekerja keras dan sekuat tenaga memberikan kreasi yang terbaik bahkan di tengah bulan puasa yang cukup berat bagi sebagian besar pemain timnas yang beragama islam.
Melihat realitas besarnya animo masyarakat pada tim-tim luar negeri, membuat saya mencoba melihat dari kacamata yang berbeda. Satu hal yang paling risih dan gundah pada diri saya adalah, lunturnya kecintaan terhadap bangsa sendiri, dan lebih mengagungkan produk luar negeri.
Mungkin akan ada banyak orang yang tidak suka dengan lontaran komentar saya, tapi pada faktanya, rasa kecintaan dan nasionalisme seharusnya mengalahkan fanatisme terhadap tim asing. Riuh stadion GBK yang megah, hanya merepresentasikan betapa orang-orang di negeri ini tak peduli dengan icon garuda yang menempel di setiap dada pemain timnas. Bahkan dalam sebuah wawancara seorang presenter dengan penonton (dua orang perempuan), dengan polosnya mereka (penonton) mengatakan tidak tahu satupun pemain tim nas kita, sementara dengan lancar menyebutkan pemain adalah Liverpool. Bagi saya itu adalah ironis yang menyedihkan.
Sekalipun timnas berada pada level yang berbeda atau lebih rendah dari kasta mereka (liverpool), tapi tim nas adalah kebanggaan kita. Menafikan dari segala problematika yang ada, tim nas telah banyak membuat banyak fenomena, hingga menciptakan atmesfer aneka warna hingga euforia yang sanggup mengobati luka-luka dan derita anak bangsa.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran timnas selalu dirindukan, meski pada akhirnya banyak cibiran yang dilontarkan. Tapi saya, tidak peduli itu, saya cinta timnas, saya selalu mendukung timnas. kebesaran tim Arsenal, Liverpool, dan Chelsea tidak akan pernah menggoyahkan saya untuk mencintai timnas.
Ketika gawang Kurnia Meiga dijebol dan penonton bersorak sorai....saya sedih..Bagaimanapun, timnas ini sudah bekerja keras dan sekuat tenaga memberikan kreasi yang terbaik bahkan di tengah bulan puasa yang cukup berat bagi sebagian besar pemain timnas yang beragama islam.
Comments
Post a Comment