Skip to main content

Gurat Kata



Hentakan jari jemari Fizi di atas key board laptop merk Jepang yang jadul, terus tak berhenti. Fizi terlarut dalam alam tulisannya, hingga tak menghiraukan apa pun yang ada di sekitarnya, termasuk hujan lebat yang biasanya akan  memanggil teman baiknya yaitu sang banjir.
Sembari meneguk segelas kopi luwak kiriman seorang kawan dari Lampung, Fizi terus menumpahkan ide-ide liarnya di monitor laptop sewaan dari sebuah rental di sebelah kontrakannya. Sementara itu, dari balik kamar tidur berukuran 2,5x3 meter, terdengar suara umpatan dan kemarahan  istri Fizi bernama Lastri.
“Pah, ngapain sih hanya terus di depan laptop, cari uang sana gih, cari kerja kek, apa kek, cari duit untuk bayi kita” (nada kesal dan marah).
Fizi tak bergeming, ia hanya terus fokus mempercepat aliran ketikannya yang kini telah menunjukkan di halaman 70.
“Hmmmm, kurang 30 halaman lagi…deadline tinggal 3 hari, apa bisa gue ya..novel ini harus jadi, dan gue harus dapetin duit..”
Hujan terus membasahi pinggiran Kota Bekasi, dan Fizi tak beranjak dari meja kerjanya yang acak-acakan. Sambil melihat monitor laptop, Fizi masih tak kuasa meneruskan cerita tentang seorang penulis yang rela berbuat apa saja  untuk mengatasi kehidupannya yang serba sulit. Cerita perjuangan hidup ini sulit untuk ia teruskan, karena ia tidak mampu menghadirkan dramatisasi, dan tidak kunjung menemukan formulasi klimaks cerita. Matanya yang kuyu terus melihat monitor, dan mulai menyalakan rokok,  (baginya rokok dan kopi sudah menjadi seperti Ipin dan Upin yang mampu saling melengkapi).
Hujan reda, dan kumandang Azan Ashar nyaring terdengar. Fizi sadar panggilan itu untuk dirinya dan semua umat muslim di mana pun untuk sejenak memasrahkan dirinya pada Allah SWT, untuk berdialog relijius dengan Tuhannya. Namun seolah melawan nurani, dengan santainya Fizi malah melangkahkan kakinya dari kontrakannya. Ia melipir kawasan Stasiun Kranji yang ada di wilayah Kota Bekasi bagian Barat. Ramai lalu lalang orang yang baru turun dari kereta commuter line, dan hiruk pikuk orang berdagang di sepanjang boulevard stasiun tersebut menjadi pemandangan sehari-hari.
Mata Fizi terbelalak ketika melihat seorang kakek tua yang berusaha mencari uang dengan cara menawarkan buku-buku bekas. Peluh keringat yang bercucuran seperti tak menyurutkan semangat sang kakek. Sesaat setelah dagangannya tak laku, sang kakek duduk bersandar di samping WC Umum, dan kemudian ia masuk ke mushola untuk sholat Ashar.
Fizi pun bingung mengapa ia harus berdiri terpaku, dan ingin melihat apa lagi yang akan dikerjakan oleh sang kakek. Usai solat, Sang kakek terlihat mengeluarkan buku kecil, dan ia mulai menulis. Seperti tanpa kesulitan berarti, sang kakek terus menggoreskan bolpoinnya di atas kertas buku catatan kusut. Sesekali sang Kakek tersenyum, dan sesekali ia juga termenung.
Dalam benak Fizi, dirinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dituliskan oleh sang Kakek. Ia ingin mendekat, tapi masih ada keraguan yang mencengkram kakinya.
Keesokan harinya , Fizi berniat untuk mencari inspirasi di luar rumah, karena ia terinspirasi oleh sang kakek yang sepertinya menikmati kegiatan menulisnya, hingga bisa tertawa-tawa, senyum, dan kadang terlihat sedih. Hal inilah yang belum Ia dapatkan saat menulis sebuah cerita.
Di dalam area stasiun Kranji, Fizi berdiri di peron dan tak sengaja   melihat sang kakek. Saat kereta  ekonomi jurusan Bekasi-Jakarta Kota tiba, terlihat sang kakek naik dengan tergesa-gesa ke atas gerbong 3. Fizi pun langsung lompat naik ke dalam kereta yang sama tanpa membeli tiket terlebih dahulu, karena ia begitu ingin melihat apa yang sebenarnya dikerjakan oleh sang Kakek.
Di dalam gerbong yang tidak terlalu penuh, karena akhir pekan. Tiba-tiba, suara serak orang tua nyaring terdengar mengalahkan kencangya deru mesin kereta. Fizi berusaha mencari sumber suara tersebut, dan ia menemukannya. Ya, suara tersebut datang dari seorang kakek renta yang ia cari. Sang kakek masih terlihat segar dan  masih terlihat nyentrik, dengan rambut gondrong diikat di belakang, dan kemeja hijau army buluk. Tak lama kemudian ia membuka catatannya, dan membacakan puisi dengan intonasi tanpa cela.
“Hidup…ya..hidup terkadang seperti kereta ”
“Kadang cepat, kadang melambat, kadang terguling”
“Hidup kita memang seperti ini, meluncur terus…”
“Tapi ada Tuhan yang selalu membuat kita menepi”
“Ada rel yang terus membawa kereta ini berjalan benar”
“Namun kereta kadang tergelincir, dan melukai”
 “Itulah manusia…manusia..ya manusia kadang terlontar bebas tanpa tepi”
“Tapi Tuhan selalu siapkan rel yang kokoh, selalu berikan perhentian terbaik”
“Manusia dan kereta …analogi yang empiris….”
Begitulah bunyi satu bait puisi yang dibacakan sang Kakek di dalam gerbong berisi lebih dari 50 penumpang, yang membuat Fizi sejak terdiam, dan ia seperti tertampar, tertabrak motor, atau tergilas mesin cuci. Puisi yang singkat, namun begitu mengena hati seorang Fizi yang cuek dan bebal.
Tak lama kereta berhenti di Jatinegara, dan sang Kakek pun buru-buru melangkahkan kakinya untuk segera turun. Fizi pun mengikutinya, seolah terbius dengan kata-kata yang terlontar dari mulut sang Kakek. Langkah Fizi terhenti saat melihat sebuah catatan kusut tergeletak di depannya. Fizi memungutnya, dan setelah ia teliti bagian dalamnya ia yakin buku itu milik sang kakek. Fizi pun buru-buru mencari keberadaan sang kakek,  tapi lalu lintas manusia yang begitu tumpah ruah, membuatnya tak bisa mencium jejak sang kakek. Ia terus berlari keluar dari stasiun, dan berusaha untuk mencari sang kakek. Keinginannya hanya satu, Fizi ingin mengembalikan buku catatan tersebut kepada sang empunya.
Kelelahan membuat Fizi memutuskan untuk beristirahat di sebuah warung. Fizi memberanikan diri untuk melihat isi dari buku tersebut. Halaman demi halaman ia baca, dan Fizi semakin tercengang dengan kekuatan tulisan sang kakek. Berbagai puisi indah tertoreh di atas kertas buluk, dengan tulisan bentuk latin miring yang indah, dan masih jelas terbaca.
Halaman satu puisi sebanyak 5 bait mengisahkan tentang indahnya berinteraksi dengan Tuhan. Halaman dua berisi puisi 1 bait dengan 20 baris tentang indahnya berbagi ilmu. Dan halaman ketiga membuat mata Fizi tak bisa bergeming, saat matanya tertuju pada sebuah  puisi indah  berjudul Menulis Untuk Hidup. Bait demi bait puisi ini mengisahkan tentang seorang penulis yang ingin membuat perubahan dunia, dengan cara yang sederhana.
“Menulis untuk hidup, bukan menulis untuk mencari uang”
Menulis untuk hidup adalah menulis untuk membuat perubahan”
Menulis untuk hidup adalah mengalahkan ego dan superego
Karena aku hidup untuk menulis dan menulis untuk hidup
Karena aku ingin menuangkan kebajikan dalam kerangka sederhana
Sederhana sekali hingga tulisan ini akan menggetarkan, menggerakkan manusia…
Untuk menjadi lebih berarti”
Petikan puisi ini benar-benar menampar dua kali lebih kuat dibanding dengan puisi yang telah dibacakan oleh sang kakek di dalam kereta.
Fizi bekata dalam hatinya, “Ya Allah, Kakek tua ini begitu menikmati hidupnya, penuh dengan bersyukur, sementara saya hanya menyia-nyiakan hidup, dan tidak pernah mendekatkan dengan diri-Mu Ya Allah”.
Tajamnya tulisan kakek renta ini membuat dirinya penasaran akan sosok sang kakek tersebut. Seperti timbul ide, Fizi pun mulai menulis di atas bukunya sendiri, dan meminjam beberapa kosa kata yang muncul dari kalimat-kalimat sang kakek.
Malam pun tiba, dan Fizi seolah tak ingin kehilangan momen, saat di ruang kerjanya, Fizi terus memuntahkan gagasan-gagasan terkonsep dari dalam kepalanya di atas sebuah  monitor.
Tak terasa 30 halaman yang ia ingin tuntaskan akhirnya selesai saat Azan Shubuh berkumandang. Lama tak menyentuh wudlu,  Fizi pun mulai membasuh kepala, tangan dan rambut, kuping dan kakinya, dan tak lama kemudian ia mengambil sajadah untuk bersembahyang.
Dalam doanya, ia sangat berharap apa yang ia lakukan bisa menjadi berkah bagi keluarganya. Setelah pagi menjelang siang, Fizi mantap membawa hasil karyanya untuk dikirimkan ke salah satu penerbit besar yaitu Penerbit Karya Indah  di Jakarta Pusat yang menggelar kontes menulis novel dengan tema cinta dan humaniora.
Usai menyelesaikan novelnya, ada satu hal yang ingin Fizi lakukan. Ia sangat ingin mengembalikan buku milik sang kakek, dan ingin meminta maaf karena sudah mengutip berapa kalimat puisinya untuk ia masukan dalam karya novelnya.
Hari demi hari ia mencari keberadaan sang kakek, tapi ia tak kunjung bisa menemukan keberadaannya. Ia bertanya pada beberapa penjual di stasiun, tapi ternyata tak ada yang tahu di mana sang kakek tinggal.
Satu bulan kemudian akhirnya pengumuman lomba menulis novel pun diumumkan. Fizi segera membeli koran, dan segera  membuka lembaran pengumuman. Tangan Fizi bergetar, dan seketika itu bersujud syukur di atas aspal. Ya, berita bahagia itu berpihak ke Fizi, karena ia berhasil menjadi pemenang pertama lomba penulisan novel se-Jabodetabek, dan berhak atas uang Rp.10 juta. Ia langsung pulang untuk membagi berita bahagia ini kepada istri dan anaknya yang masih berusia 5 tahun. Kemenangan ini sangat bernilai, karena Fizi  akan mendapatkan sejumlah uang untuk membayar hutang jutaan rupiah pada seorang rentenir. Ia juga akan  membiayai pengobatan ibu Fizi di kampung yang kesehatannya semakin menurun.   
Kriiingg..kriiing, telepon selular merk china milik Fizi berbunyi. Dari balik telepon, terdengar suara seorang pria yang mengabarkan bahwa Fizi harus datang ke Penerbit Karya Indah untuk menerima penganugerahan hadiah sekaligus  menandatangani kontrak kerja penerbitan novel  hasil karya Fizi yang berjudul “Hidup Untuk Menulis, Menulis Untuk Hidup”.
Setelah menutup pembicaraan, pergolakan batin Fizi muncul. Ada perasaan bersalah yang begitu kencang menyerbu jantungnya. Ia merasa apa yang ia hasilkan bukan berasal dari kemurnian daya karya dan cipta dirinya. Ia ingin mencari keberadaan sang kakek untuk meminta izin, dan meminta maaf karena lancang telah membawa buku catatannya bahkan meminjam beberapa penggal puisinya dalam karya novelnya.
Pemberian anugerah penulis muda terbaik  di auditorium Penerbit Karya Indah, ternyata disiarkan oleh beberapa media cetak dan elektronik. Sebuah stasiun radio bahkan menyiarkan secara langsung program penganugerahan bergengsi ini. Saat itulah Fizi memberikan pernyataaan yang mengejutkan.
“Bapak-bapak dan ibu sekalian, saya sangat bangga bisa hadir di sini, saya bahkan tidak bermimpi bisa sampai di sini. Tapi saya mohon maaf tidak bisa menerima semua penghargaan ini, apa yang saya tulis ini  tidak sepenuhnya murni dari kerangka fikir saya. Saya bahkan mencontek beberapa bait puisi indah yang diciptakan oleh orang yang tidak saya kenal”.
Fizi kemudian membacakan puisi demi puisi catatan sang kakek, bahkan sesekali Fizi berusaha menahan tangis, karena ia semakin diserang rasa bersalah yang sangat kuat.
Di tempat berbeda, di gubuk tua, yang terletak tidak jauh dari gedung Penerbit tersebut, seorang kakek dengan serius mendengarkan siaran langsung lewat radio tentang acara penganugerahan tersebut. Saat beberapa bait puisi berjudul Menulis Untuk Hidup dibacakan, sang kakek  menitikan air mata. Ia tidak menyangka catatan yang lama hilang bisa ditemukan oleh orang yang tepat.
Sang kakek, ini pun bergegas menuju ke acara tersebut, ia membawa sepeda kesayangannya menuju auditorium Penerbit tersebut.
Sementara itu, usai membacakan puisinya, Fizi mengatakan pada direksi penerbit tentang pembatalan  hadiah dan kontrak kerjanya.
“Bapak Direktur, saya akan merasa berdosa jika masih menerima hadiah tersebut, dan akan merasa sangat berdosa jika novel ini terbit, karena saya telah mencuri ide seseorang, tadi sengaja saya bacakan puisi tersebut agar seorang kakek pemiliki buku catatan ini akan memaafkan saya..atas kelancangan saya mengutip puisinya”, ungkap Fizi sambil menatap sedih ke arah istri dan anaknya.
Pernyataan ini membuat direksi penerbit tersebut bingung, dan berusaha untuk mengerti keadaan tersebut. Tiba-tiba dari tengah kerumunan orang yang menghadiri acara penganugerahan tersebut, muncul suara lantang sambil menyerukan sejumlah baris puisi :
“Menulis untuk hidup, bukan menulis untuk mencari uang”
Menulis untuk hidup adalah menulis untuk membuat perubahan”
Menulis untuk hidup adalah tentang manusia yang mengalahkan ego dan superegonya”
Perhatian seluruh orang yang hadir di tempat tersebut pun sontak langsung tertuju pada sang kakek.
“Hai anak muda!!!!!! Saya Darmaji, seorang kakek renta yang hobi membuat puisi. Tidak ada alasan buat kamu untuk membatalkan seluruh penghargaan yang berhak kamu dapatkan….”
Fizi langsung loncat dari panggung berdekorasi megah ini, dan langsung menghampiri sang kakek sambil memeluk erat dan menangis…
Sambil menepuk pundak Fizi, Darmaji membisikan sesuatu, “Nak, jika memang bintang itu akan bersinar, maka matahari, bulan, dan seluruh planet pun tidak akan bisa menghalangi”…
----------------------------------------------Selesai------------------------------------------------

Comments

Popular posts from this blog

Sepeda Ban Gede Enggak Bikin Cape

 Sepeda gendut atau fatbike masih tergolong minim penggemarnya. Hal ini bisa dilihat dari eksistensinya di jalanan, jarang sekali kita lihat sepeda jenis ini. Banyak yang beranggapan, berat lah, capek lah, dan lain-lain sebagainya. Saat orang bilang demikian, saya juga sempet mikir, iya juga kali ya. Apalagi review di Youtube itu sangat sedikit tentang sepeda beginian.  Nah, saya sebenarnya sudah mengincar sepeda gendut ini sejak 3 tahunan lalu. Saat awal-awal pandemi, di mana sepeda jadi booming, dan harganya gila-gilaan. Saat itu, sebenarnya pengen banget meminang sepeda gendut ini, namun karena beberapa alasan akhirnya saya lewatkan. Tapi, dalam tiga tahun itu, saya selalu iseng untuk stalking foto-foto orang lagi gowes pakai sepeda gendut ini.  Keinginan untuk memiliki si sepeda gendut ini kembali muncul di tahun 2023. Bahkan ngebet banget sampai-sampai harus membangun birokrasi yang lebih intensif dan komprehensif dengan  istri tercinta hehehe, untuk bisa membawa si sepeda gendut

Namanya Satria Keenan Arrais

9 bulan 5 hari,  tepat pada tanggal 2 Februari 2013 akhirnya jagoan saya menyapa dunia. Namanya Satria Keenan Arrais, yang artinya seorang pejuang yang memiliki visi tajam dan seorang pemimpin. Tepat lahir di dunia saat azan subuh, hati saya bergetar, senyum terkembang, dan rasa syukur tak terhingga selalu dipanjatkan kepada Allah SWT. Air mata bahagia bercucuran, lalu mengumandangkan azan sambil nangis, gak peduli nadanya fals dan tidak beraturan. Hehe Keenan merupakan anugerah terindah yang pernah saya dapatkan di dunia ini. Ini adalah titipan Allah yang sangat berharga. Campur aduk haru bahagia, tapi di sisi lain,saya harus siap menerima amanah yang maha dahsat ini. Bagaimana tidak, sepanjang hayat saya, saya harus bisa mendidik, membimbing, dan mengarahkan buah hati ini untuk menjadi seseorang yang berakhlak mulia. Proses persalinan istri saya membuahkan cerita unik tersendiri. Tanggal 1 Februari 2013, rencananya saya akan pulang ke Wonogiri mengantarkan istri saya. Karen

Momentum

 Tanggal 1 Juni 2023 akan selalu menjadi pengalaman yang menjadi pelajaran berharga bagi saya.  Bersepeda harusnya menjadi momentum berbahagia, tapi justru ini menjadi nestapa. Kenapa? ya karena karena kurangnya waspada saya kehilangan tas dan seisinya, yaitu dompet berisi surat penting dan ponsel.  Tentu, ini menjadi pelajaran yang sangat mahal bagi saya, keluarga dan orang-orang terdekat saya, agar selalu hati-hati dan waspada dalam menjalankan segala aktivitas.  Pada intinya, saya dijambret. Modusnya, pelaku menggunakan sepeda motor, memepet, meneriaki, dan menepuk pundak saya hingga blank sekitar 2-3 detik, lalu mengambil tas selempang yang melekat di badan. Meski sempat melakukan perlawanan dan berusaha mempertahankan tas, tapi apa daya, momentum itu berada di tangan si penjambret. Momentum hilang tas pun melayang.  Dari situ, saya terus menganalisis dari kejadian yang saya alami. Ternyata momentum itulah yang sangat krusial. Karena seharusnya, dalam momentum kontak mata yang hany